UNIDA Gontor — Tulisan ini berangkat dari refleksi kepemimpinan yang hening namun menentukan, disampaikan oleh Rektor UNIDA Gontor, Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil, di hadapan seluruh dosen, tenaga kependidikan, dan staf UNIDA menjelang akhir tahun 2025. Bukan pidato seremonial, bukan pula laporan administratif akhir tahun, melainkan ajakan reflektif untuk berhenti sejenak dan bertanya secara jujur: “Apakah universitas ini sedang sekadar menjalankan sistem, atau sungguh-sungguh menumbuhkan ilmu sebagai ruh peradaban?”
Pesan ini berangkat dari pengalaman intelektual Rektor selama belajar di ISTAC di bawah bimbingan langsung Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dari sana ditegaskan bahwa universitas unggul tidak lahir dari kurikulum yang rapi atau fasilitas yang megah semata, melainkan dari tradisi ilmu yang hidup: tradisi yang menautkan ilmu dengan adab, metodologi dengan worldview, dan keunggulan akademik dengan tanggung jawab peradaban.
Ilmu, Worldview, dan Arah Peradaban
Salah satu penekanan utama dalam pesan Rektor adalah persoalan worldview. Metodologi modern—betapapun canggih dan sistematis—tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu berangkat dari asumsi-asumsi dasar tentang kebenaran, makna, dan realitas. Ketika seorang sarjana Muslim belajar ke Barat, yang dibawanya pulang bukan hanya teknik berpikir, tetapi juga kerangka pandang yang menyertainya.
Di sinilah letak persoalan mendasar. Metode modern tidak salah, tetapi ketika dilepaskan dari worldview Islam, ia berpotensi mereduksi wahyu menjadi sekadar teks historis yang problematis, terbuka bagi penafsiran tanpa batas makna. Pernyataan ekstrem bahwa “Al-Qur’an turun tanpa makna” bukan sekadar kegagalan nalar, melainkan krisis epistemologis.
Rektor menegaskan bahwa dalam Islam, ilmu tidak pernah netral. Ilmu selalu berpijak pada keyakinan dasar. Di ISTAC, Prof. al-Attas tidak memulai pendidikan dengan teknik, tetapi dengan pertanyaan paling mendasar:”Apa itu Islam, dari mana ilmu berasal, dan untuk apa ilmu diarahkan?” Dari sinilah bangunan keilmuan ditegakkan secara utuh—rasional, spiritual, dan bermakna.
Otoritas Keilmuan dan Keteladanan Dosen
Tradisi ilmu tidak tumbuh dalam relasi yang kering dan birokratis. Ia hidup dalam otoritas keilmuan yang beradab. Di ISTAC, dosen bukan sekadar pengampu mata kuliah, melainkan figur ilmu—orang yang ilmunya dihidupi, bukan hanya diajarkan. Hubungan dosen dan mahasiswa bersifat mendidik secara menyeluruh: intelektual, moral, dan spiritual.
Kedekatan itu hadir dalam hal-hal sederhana namun sarat makna: diskusi di bawah pohon, minum kopi bersama, kantor dosen yang terbuka, dialog yang jujur dan kritis. Namun kedekatan ini tidak menurunkan standar akademik. Justru sebaliknya, tuntutan ilmiah sangat tinggi. Makalah dikoreksi baris demi baris, dengan ketelitian yang menunjukkan penghormatan terhadap ilmu dan penulisnya.
Pesan ini menjadi cermin bagi UNIDA: bahwa profesionalisme tidak harus dingin, dan kedekatan tidak harus mengorbankan objektivitas. Tradisi keilmuan yang kuat justru lahir dari relasi yang hangat, jujur, dan berdisiplin.
Kurikulum Penting, tetapi Ruh Menentukan
Rektor mengingatkan bahwa kurikulum bukanlah jantung universitas. Kurikulum dapat disusun, diperbarui, bahkan diadopsi. Namun ruh keilmuan tidak bisa disalin. Ia tumbuh dari manusia-manusia yang mencintai ilmu dan hidup dalam adab.
Bahasa Arab, misalnya, tidak cukup diajarkan sebagai mata kuliah formal. Ia harus diajarkan oleh orang yang menguasainya secara mendalam dan menjadikannya pintu masuk ke khazanah Islam. Demikian pula bahasa asing lain—Inggris, Latin, Turki, atau Jerman—dipelajari bukan untuk prestise, tetapi untuk membaca teks, memahami peradaban, dan berdialog secara setara dengan tradisi intelektual dunia.
Universitas unggul adalah universitas yang mendidik cara berpikir, bukan sekadar menyampaikan informasi.

UNIDA dan Tanggung Jawab Peradaban
Menjelang akhir tahun 2025, pesan Rektor ini mengajak seluruh sivitas akademika UNIDA untuk memandang masa depan dengan kedalaman visi. UNIDA tidak boleh berhenti sebagai institusi pengajaran, tetapi harus tumbuh sebagai pusat keunggulan peradaban—hadir di tengah umat, mencerdaskan masyarakat, dan menjadi rujukan moral serta intelektual.
Diskusi ilmiah tidak harus selalu mahal dan seremonial. Justru dialog harian yang jujur, kritis, dan beradab—di kelas, di asrama, di rumah dosen, atau di ruang terbuka—sering kali melahirkan pemikiran yang paling bernas. Mahasiswa harus dibiasakan berpikir substantif, bukan sekadar menjadi konsumen informasi atau pengguna teknologi tanpa kedalaman makna.
Penutup: Harapan pada Tradisi dan Budaya Ilmu
Pada akhirnya, pesan Rektor ini adalah pesan penuh harapan. Harapan agar UNIDA terus bertumbuh bukan hanya sebagai institusi yang besar, tetapi sebagai universitas yang dewasa secara intelektual dan matang secara peradaban. Harapan agar setiap dosen, tenaga kependidikan, dan staf memandang perannya bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari amanah keilmuan yang panjang.
Dengan menghidupkan tradisi ilmu, memuliakan adab, dan meneguhkan worldview Islam, UNIDA Gontor insya Allah akan melangkah mantap menuju universitas unggul—unggul dalam ilmu, unggul dalam karakter, dan unggul dalam pengabdian kepada umat.
Dari kampus inilah, semoga lahir insan-insan berilmu yang jernih akalnya dan luhur akhlaknya, pemikir yang tajam sekaligus bijak, serta pemimpin yang mampu menuntun zaman dengan cahaya ilmu. Sebab ketika ilmu benar-benar hidup, universitas tidak sekadar meluluskan mahasiswa, tetapi melahirkan peradaban umat yang agung dan gemilang.
Redaksi: Dr. Nur Hadi Ihsan, MIRKH. (Dosen Universitas Darussalam Gontor)






