Back

TOL SEMARANG-DEMAK: Tanggul Penyelamat atau Bom Waktu Jangka Panjang?

Tanggul laut Jalan Tol Semarang-Demak membelah garis pantai dengan latar banjir rob dan kawasan permukiman pesisir.

Proyek Jalan Tol Semarang-Demak, sebuah inovasi ambisius sebagai “tanggul laut terintegrasi”, hadir sebagai respon cepat terhadap ancaman banjir rob di pesisir utara Jawa. Tak bisa dipungkiri, tol ini membawa sisi positif: ia memberi perlindungan mendesak dari rob, sekaligus meningkatkan konektivitas dan mendorong ekonomi regional berkat efisiensi logistik. Ini adalah contoh rekayasa cerdas dalam menghadapi krisis.

Namun, di balik kemegahan konstruksinya, muncul pertanyaan krusial tentang keterbatasan solusi ini dalam jangka panjang.

Pertama, proyek ini cenderung mengatasi gejala, bukan akar masalah. Banjir rob di Semarang-Demak bukan hanya karena kenaikan muka air laut, tapi jauh lebih parah akibat penurunan muka tanah (land subsidence) masif. Penurunan ini dipicu oleh ekstraksi air tanah berlebihan dan beban bangunan. Jika land subsidence terus berlanjut di area yang dilindungi, tanggul ini akan menciptakan “efek bak mandi”, di mana area di dalamnya semakin rendah dan membutuhkan sistem pemompaan yang semakin besar dan mahal. Tanpa penanganan serius pada akar masalah land subsidence, tanggul ini hanya akan menjadi “perban” sementara yang mahal.

Kedua, ada masalah besar dengan kemampuan tanggul beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terus berubah dan sulit diprediksi. Desainnya mungkin berdasarkan perkiraan tertentu, tapi iklim bisa menyebabkan kenaikan muka air laut atau gelombang badai yang jauh lebih ekstrim. Jika tanggul tidak punya daya tahan ekstra, kerusakan di satu segmen saja bisa menyebabkan bencana besar.

Ketiga, proyek ini terlalu fokus pada solusi “beton” (bangunan fisik) dan mengabaikan solusi “alam” (seperti hutan bakau). Akibatnya, puluhan hektar hutan bakau rusak, padahal bakau adalah benteng alami yang sangat ampuh. Seharusnya kita perlu pendekatan yang lebih menyeluruh, yaitu membangun fisik sekaligus bakau secara besar-besaran. itu akan jauh lebih awet dan berkelanjutan.

Jalan Tol Semarang-Demak sebagai tanggul laut memang sebuah prestasi rekayasa, namun untuk benar-benar menjadi solusi jangka panjang yang berkelanjutan, proyek ini harus diiringi strategi yang lebih luas dan terintegrasi.

Ini bukan hanya tentang membangun fisik, tetapi juga tentang mengatasi akar penyebab land subsidence secara fundamental. langkah-langkah krusial termasuk:

  • Pengendalian Ketat Ekstraksi Air Tanah: Perlu penegakan hukum yang kuat terhadap penggunaan air tanah ilegal dan penerapan tarif progresif yang tinggi bagi industri/komersial. Masyarakat juga perlu didorong beralih ke air bersih perpipaan melalui subsidi.
  • Pengembangan Sumber Air Baku Alternatif: Investasi besar harus dialokasikan untuk infrastruktur penyediaan air baku dari sumber permukaan (misalnya bendungan atau sungai) demi mengurangi ketergantungan pada air tanah.
  • Injeksi Air Tanah Buatan (Artificial Recharge): Proyek injeksi air ke lapisan tanah kosong di bawah permukaan dapat membantu memulihkan tekanan tanah dan memperlambat penurunan permukaan tanah.
  • Tata Ruang Berbasis Risiko Bencana: Revisi dan penegakan tata ruang yang mempertimbangkan risiko land subsidence sangat penting, termasuk pembatasan pembangunan di area sangat rawan.

Selain itu, penting juga untuk beradaptasi dengan dinamika perubahan iklim yang tidak pasti, serta mengintegrasikan solusi rekayasa dengan pendekatan berbasis alam. Tanpa langkah-langkah komprehensif ini, tanggul ini hanya menjadi “solusi parsial” yang menciptakan tantangan baru di masa depan, alih-alih benar-benar menyelesaikan persoalan rob di pesisir utara Jawa.

Redaksi: Puput Wahyu Nurmasanti, M.Pd. (Tenaga Kependidikan Fakultas Humaniora UNIDA Gontor)