UNIDA Gontor — Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin menyelenggarakan Studi Pengayaan Lapangan (SPL) bertema “Spirit Kemanusiaan Dalam Konseling Islami” di Rumah Cahaya, Jakarta. Kegiatan pada Selasa, 28 Oktober 2025 ini diikuti 15 mahasiswi semester enam dengan pendamping dua dosen pengampu, Al-Ustadz Dr. Ahmad Farid Saifuddin, S.H.I., M.Ag., dan Al-Ustadzah Zalfaa’ ‘Afaaf Zhoofiroh, M.Ag. Agenda dirancang untuk menumbuhkan empati, memperluas wawasan keislaman, dan mengintegrasikan teori Filsafat Islam dengan praktik kemanusiaan pada konteks sosial kontemporer—sejalan dengan visi UNIDA sebagai Universitas Islam Terbaik dalam penguatan ilmu dan pengabdian.
Sesi dibuka oleh perwakilan Rumah Cahaya yang memaparkan mandat lembaga sebagai komunitas nirlaba di bidang konseling dan kesehatan mental: layanan konseling psikolog, webinar rutin, dan podcast kesehatan mental tanpa biaya. Dr. Ahmad Farid menekankan relevansi tasawuf dalam psikologi Islam—bahwa ilmu harus menyatu dengan amal, dan kegiatan lapangan menjadi wahana nyata memperluas jejaring akademik lintas lembaga.
Materi inti disampaikan oleh Prof. Dr. Rena Latifa, M.Psi. (Guru Besar Psikologi Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), psikolog klinis sekaligus dewan pembina Rumah Cahaya. Beliau menegaskan pentingnya membingkai psikologi modern dengan akidah, karena paradigma Barat cenderung materialistik serta menitikberatkan perilaku dan pikiran tanpa menimbang dimensi ruhani. Dalam Islam, nafs tidak semata fungsi otak, tetapi pusat kesadaran moral dan spiritual yang terkait dengan ruh dan hati. Karena itu, psikologi perlu dipadukan dengan teologi: tidak sekadar membaca gejala psikis, tetapi memaknai keberadaan manusia di hadapan Allah. Kutipan kunci yang ditekankan ialah, “Ilmu psikologi harus dijaga oleh akidah, agar manusia dipahami sebagai makhluk spiritual yang berhubungan dengan Tuhannya.”

Prof. Rena juga menyoroti pertautan antara pengalaman kelekatan (attachment) masa kecil dan kestabilan spiritual seseorang. Hubungan penuh kasih dengan orang tua berkontribusi pada kematangan iman, sementara kekacauan relasi emosional sering berdampak pada keberagamaan. Karena itu, pendidikan keluarga tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada lembaga; kasih sayang dan bimbingan ruhani tetap fundamental. Pada tataran konseptual, beliau membedakan humanisme sekuler—yang menempatkan manusia sebagai pusat—dengan pandangan Islam yang memosisikan manusia sebagai ‘abdullah dan khalifatullah fi al-ardh. Orientasi kebahagiaan tidak berhenti pada dunia, melainkan juga akhirat; pendidikan sejati menumbuhkan empati, kesadaran spiritual, dan cinta sesama.
Melalui SPL ini, mahasiswi AFI menguatkan pemahaman bahwa konseling Islami harus memadukan ilmu, akhlak, dan pelayanan. Rumah Cahaya menjadi ruang belajar hidup: mahasiswa mendengar, mengamati, dan berdialog tentang praktik konseling yang ramah, berbasis nilai, dan peka terhadap kerentanan manusia. Kegiatan ini meneguhkan komitmen UNIDA Gontor sebagai Universitas Islam Terbaik yang secara konsisten menghadirkan pengalaman belajar bermakna—mendekatkan teori ke praktik, ilmu ke pengabdian, dan pengetahuan ke kemanusiaan. Dengan semangat “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, para peserta diajak mengenali diri untuk mengenal Tuhannya, lalu memanusiakan manusia melalui layanan konseling yang arif, beradab, dan bertanggung jawab.
Redaksi: Putrie Ariyola Ramadani
Editor : Ahmad Ma’ruf Muzaidin Arrosit






