Back

Mahasiswi UNIDA Gontor Gagas ‘Smart Bag Technology Sebagai Gagasan Futuristik Mendukung Net Zero Emission’

PKM UNIDA Gontor

UNIDA Gontor – “Masalah di Indonesia yang saat ini masih belum dikelola dengan baik yaitu limbah rumah tangga. Kebanyakan masyarakat membuang sampah tanpa melakukan pengelompokan antara sampah organik dan sampah anorganik di tempat sampah yang telah disediakan. Salah satu limbah yang dapat mencemari selokan air, Sungai dan lingkungan sekitar rumah yaitu limbah rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir akibat pembuangan limbah rumah tangga yang tidak dapat di daur ulang. Limbah rumah tangga sendiri terdiri dari sampah organic dan anorganik yang mana keduanya memiliki dampak, salah satunya yang terdapat pada sampah organic dapat menyebabkan bau yang tidak sedap sehingga dapat mengakibatkan eutrofikasi. Sedangkan sampah anorganik yang berasal dari plastic, kaca, kaleng, aluminium, dan peralatan rumah tangga yang sudah tidak digunakan dapat menyebabkan polutan pada tanah.

Menurut data Spasial SIPSN, timbunan sampah rumah tangga dan sejenisnya pada tahun 2023 mencapai 17,441,415.28 ton per tahun dengan 15.99% pengurangan sampah (2,788,026.04 ton per tahun) dan 50.49% pengurangan sampah (2,788,026.04 ton per tahun). (SIPSN, 2023) Sedangkan menurut laporan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari total produksi sampah nasional yang dapat di Kelola sekitar 65.71% atau 13.9 juta ton, sedangkan 34.29% atau sekitar 7.2 juta ton belum dikelola dengan baik. (5, 2023) Komposisi sampah menurut sumber sampah masih di dominasi oleh rumah tangga mencapai 37.6% (Purnama, 2023) Selain itu dari total 68, 5 juta ton sampah nasional, komposisi sampah yang paling banyak berupa sisa makanan, plastic, dan kertas.

Dalam perihal pengolahan limbah rumah tangga masyarakat Indonesia masih terlalu abai, sehingga menyebabkan kondisi limbah rumah tangga tidak dapat diuraikan secara langsung. Dengan hadirnya Smart Bag Technology sebagai Solusi untuk memudahkan penguraian limbah rumah tangga menjadi pupuk decomposer yang aman bagi tumbuhan serta lingkungan di sekitar.  Gagasan ini hadir sebagai respon terhadap kemajuan teknologi dan semakin peningkatan industrialisasi di Indonesia.”

Artikel ini digagas oleh Aulia Tiara Nisa (HI), Fitri Nur Ainun (Agro), dan Rosita Nur Ayshah (Farmasi) ketiganya adalah mahasiswi UNIDA Gontor Kelas C, semester 6. Membahas mengenai gagasan tas yang dapat mengubah sampah menjadi pupuk organik. Dalam program Hibah PKM internal, Aulia berhasil mendapatkan hibah internal melalui PKM-GFT. Gagasan ini berupa tas yang nantinya berfungsi sebagai dekomposer sampah untuk kemudian bisa digunakan sebagai bahan pupuk kompos. Sampah yang dimasukkan ke dalam tas ini nantinya akan didiamkan dengan dicampur tanah, larutan EM4, atau  atau cacing (Magot) untuk memudahkan pembusukan (dekomposisi).

Pembuatan pupuk decomposer juga dilakukan melalui penambahan larutan EM4 di bagian dalam tas dimaksudkan untuk mempercepat dalam penguraian bahan organik sehingga proses pengomposan dapat berlangsung lebih efisien (Chusnun & Affandy, 2024). Larutan EM4 merupakan produk yang mengandung kumpulan mikroorganisme baik yang dapat mempercepat proses penguraian sampah organik menjadi kompos dengan cara mikroorganisme yang terkandung dalam EM4 menguraikan bahan organic kompleks seperti daun, sisa makanan, dan ranting menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selain itu, EM4 juga berfungsi meningkatkan kandungan nutrisi dalam kompos.

Adapun proses dekomposisi didalam Smart Bag Technology yang menggunakan bantuan teknologi dan larutan kimia untuk pembusukan limbah nabati. Langkah pertama yang dilakukan yaitu pembusukan limbah nabati yang telah dimasukkan kedalam Smart Bag Technology dengan menggunakan larutan kimia pembusuk (EM4). Dalam tas tersebut, tidak hanya limbah nabati tetapi juga dapat memilah sampah berdasarkan jenisnya melalui teknologi pendeteksi sampah yang berada di dalam tas Smart Bag Technology. Setelah sampah dibusukkan, maka sampah tersebut akan menjadi bijih plastik, yang kemudian bijih plastic tersebut menjadi sampah decomposer yang diolah melalui teknologi di dalam Smart Bag Technology.

Selain itu penggunaan Smart Bag Technology ini memerlukan energi surya sehingga dapat memanfaatkan energi keberlanjutan. Dengan adanya Smart Bag Technology ini sebagai program keberlanjutan yang mengutamakan energi terbaharukan dan mitigasi kerusakan lingkungan dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, serta penggunaan tas yang efisien untuk dijangkau oleh masyarakat. Tidak hanya itu, penggunaan Smart Bag Technology juga mendukung tujuan program berkelanjutan (SDGs) nomor 13, 14, 15 yaitu penanganan perubahan iklim, ekosistem laut dan ekosistem darat. Sehingga dengan adanya gagasan futuristic ini dapat mencapai net zero emission serta mengurangi limbah yang berada di darat maupun laut demi menjaga keberlangsungan ekosistem dan penanganan perubahan iklim.

Tas ini nantinya menjadi sebuah kebutuhan penting yang mendukung program Indonesia Net Zero Emission di tahun 2030. Tas ini nantinya juga diharapkan mampu menjadi solusi dalam membuat perubahan yang signifikan dalam menghadapi peningkatan angka limbah di darat dari rumah tangga, plastik, hingga residu industri yang semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia (Nur, 2019).

Gagasan Futuristik ini nantinya diharapkan dapat membantu untuk mengurangi sampah di Indonesia. Pengomposan merupakan suatu metode pengolahan sampah organik yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik menjadi zat yang lebih sederhana. Metode ini sejalan dengan prinsip mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah. Kecepatan dan kualitas kompos yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis dan kondisi mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan. Pembuatan kompos melibatkan pembusukan bahan organik dalam kondisi tertentu. Faktor-faktor seperti ukuran bahan baku, kadar air, jenis mikroba, dan penggunaan activator sangat mempengaruhi kecepatan dan kualitas kompos yang dihasilkan. Air berperan penting dalam proses ini karena mikroorganisme membutuhkan kelembapan yang cukup untuk menguraikan bahan organik.

Redaktur : Dwi Ardiyanti

Editor : Rifki Aulia