Konflik mengenai batas wilayah administratif antar-daerah di Indonesia, seperti yang baru-baru ini mencuat kembali terkait sengketa empat pulau; Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara merefleksikan problem kronis dalam tata kelola administrasi negara. Fenomena ini yang akarnya bahkan dapat ditelusuri hingga periode pra-kemerdekaan bukan sekadar perselisihan geografis belaka, melainkan indikator krusial terhadap ketidakjelasan historis dan interpretasi regulasi yang berbeda dalam penentuan batas wilayah.
Akar Historis dan Dilema Administratif
Menurut Mendagri Tito Karnavian, sengketa atas keempat pulau tersebut telah menjadi catatan panjang sejak tahun 1928, yang kemudian berlanjut pasca-kemerdekaan. Permasalahan fundamentalnya terletak pada minimnya dokumentasi kartografis dan legal yang konsisten dari waktu ke waktu. Meskipun terdapat upaya penyelesaian seperti kesepakatan bersama Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar pada tahun 1992 yang ditegaskan dalam Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992 yang menyatakan pulau-pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh, keberlanjutan sengketa menunjukkan kompleksitas yang belum tuntas.
Titik balik sengketa modern terjadi ketika proses verifikasi dan pembakuan nama pulau oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada tahun 2008. Saat itu, Aceh tidak mencantumkan keempat pulau tersebut dalam laporannya, sementara Sumatera Utara memasukkannya. Perbedaan data ini diperparah dengan kesalahan koordinat yang dilaporkan Aceh pada tahun 2009. Rangkaian keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2017 dan tahun 2020 yang kemudian menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara, secara signifikan memicu protes keras dari Pemerintah Aceh.
Klimaks sengketa terjadi pada tahun 2022 saat Kemendagri menerbitkan Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022, secara definitif menetapkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Reaksi penolakan masif dari Aceh, didasari argumen historis dan legalitas, menggarisbawahi kegagalan keputusan sebelumnya untuk menciptakan konsensus.

Dampak dan Signifikansi Penyelesaian
Perselisihan batas administrasi yang berlarut-larut membawa dampak multidimensional:
- Hambatan Pembangunan dan Pelayanan Publik: Ketidakjelasan status administratif secara langsung menghambat alokasi anggaran, perencanaan pembangunan, dan penyediaan layanan dasar yang optimal bagi masyarakat di wilayah sengketa. Investor pun cenderung menunda keputusan investasinya karena ketidakpastian hukum.
- Potensi Disharmoni Sosial: Masyarakat lokal di wilayah sengketa dapat terjebak dalam dilema identitas administratif, yang berpotensi memicu ketegangan sosial dan erosi kepercayaan terhadap otoritas pemerintahan.
- Ancaman terhadap Integritas Wilayah: Dalam skala makro, setiap sengketa batas yang tidak terselesaikan berpotensi mengurangi kohesi nasional dan dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Intervensi Presiden Prabowo Subianto pada 17 Juni 2025 yang memutuskan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif sah milik Provinsi Aceh menjadi langkah krusial. Keputusan ini yang didasari laporan Kemendagri dan dokumen pendukung, diharapkan dapat mengakhiri polemik panjang ini.
Konklusi: Menuju Tata Kelola Batas yang Adaptif
Kasus sengketa empat pulau ini bukan sekadar penentuan kepemilikan, melainkan studi kasus vital bagi perbaikan tata kelola batas administratif di Indonesia. Ini menegaskan bahwa penyelesaian sengketa wilayah tidak bisa hanya berlandaskan pada satu data atau interpretasi tunggal, melainkan memerlukan:
- Rekonsiliasi Data Historis dan Geospasial yang Komprehensif: Mengintegrasikan peta lama, dokumen hukum, dan data geospasial modern secara akurat dan transparan.
- Mekanisme Arbitrase atau Mediasi Pusat yang Tegas dan Independen: enjamin keputusan yang imparsial dan didasarkan pada landasan hukum yang kuat.
- Pertimbangan Aspek Sosial-Kultural Masyarakat Lokal: Memastikan bahwa keputusan administratif tidak mengabaikan ikatan historis dan sosial masyarakat dengan wilayahnya.
Penyelesaian tuntas sengketa ini menjadi preseden penting bagi penyelesaian konflik batas serupa di masa mendatang. Hal ini vital untuk menjamin kepastian hukum, mendorong pembangunan daerah yang merata, serta memperkuat stabilitas dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Redaksi: Puput Wahyu Nurmasanti, M.Pd. (Tenaga Kependidikan Fakultas Humaniora UNIDA Gontor)