Back

Sekolah Rakyat: Ketika Niat Mulia Bertemu Kompleksitas Lapangan

Guru mengajar siswa di ruang kelas sederhana sebagai simbol perjuangan akses pendidikan di daerah tertinggal Indonesia.

Kabar gembira datang dari pemerintah terkait progres pembangunan Sekolah Rakyat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengumumkan bahwa 198 lokasi telah diusulkan menjadi tempat pendirian, dan yang paling menggembirakan ada 45 lokasi diantaranya dijadwalkan siap beroperasi pada Juli 2025 untuk tahun ajaran 2025/2026. Target ambisius ini jelas mencerminkan niat mulia pemerintah untuk menghadirkan akses pendidikan yang lebih merata, khususnya bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun, dibalik optimisme yang tersuar, penting bagi kita untuk mengamati lebih dalam kompleksitas yang berpotensi dihadapi di lapangan.

Inklusi versus Seleksi: Pertanyaan Keadilan Akses

Niat utama program Sekolah Rakyat adalah menyasar anak-anak dari Desil 1 dan Desil 2 Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (NTSEN), yaitu kelompok masyarakat yang paling rentan secara ekonomi. Tujuannya adalah memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan dan melahirkan generasi emas. Namun, mekanisme seleksi peserta didik yang diusulkan justru memunculkan pertanyaan signifikan. Calon siswa akan melalui serangkaian tahapan ketat, meliputi seleksi administratif, tes potensi akademik, psikotes, kunjungan rumah (home visit), wawancara dengan orang tua, hingga pemeriksaan kesehatan.

Apabila program ini didesain untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan, mengapa harus ada proses seleksi yang sedemikian kompleks? anak-anak dari Desil 1 dan 2 adalah kelompok yang besar kemungkinan belum memiliki akses setara terhadap pendidikan berkualitas sebelumnya, sehingga kemampuan akademik atau psikologis mereka mungkin belum terasah secara optimal. Tes potensi akademik dan psikotes, dalam konteks ini, berisiko menjadi penghalang alih-alih jembatan menuju akses pendidikan.

Ketersediaan Lahan dan Kualitas Guru: Tantangan Krusial di Lapangan

Usulan lokasi yang berasal dari Pemerintah Daerah (Pemda), perguruan tinggi, dan pihak swasta, baik berupa revitalisasi gedung maupun penyediaan tanah kosong minimal minimal 5-10 hektar, menunjukkan adanya kolaborasi multi-pihak. Hal ini tentu merupakan aspek positif yang patut didukung. Namun, tantangan di lapangan tidak boleh diremehkan. Mencari lahan seluas minimal 8 hektar yang strategis, bebas sengketa, dan mudah diakses di berbagai daerah, termasuk di daerah seperti Ponorogo, adalah pekerjaan besar. Proses akuisisi atau hibah lahan seringkali memakan waktu lama, melibatkan birokrasi yang rumit, dan rentan terhadap sengketa hukum. Apabila terhambat karena masalah lahan maka target operasional pada Juli 2025 bisa meleset dari rencana.

Disisi lain, mengenai tenaga pendidik, rencana rekrutmen dari 60.000 guru yang telah memperoleh sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk mengajar terdengar menjanjikan dari segi kuantitas. namun, penekanan pada “empati sosial” disamping kompetensi akademik perlu diperjelas. Bagaimana “empati sosial” ini akan diukur dalam proses seleksi guru? tanpa instrumen yang terukur dan teruji secara akademis, kriteria ini berisiko menjadi subjektif.

Visi Digital dan Beasiswa: Harapan Jangka Panjang yang Perlu Pondasi Kuat

Visi untuk membekali siswa dengan keterampilan digital masa kini, seperti coding, cybersecurity, dan data science adalah langkah yang sangat progresif dan relevan dengan tuntutan zaman. namun, ini memunculkan pertanyaan: Apakah infrastruktur dan SDM di setiap Sekolah Rakyat akan mampu mendukung pengajaran teknologi canggih ini? janji digitalisasi dan beasiswa harus diimbangi dengan fasilitas dan persiapan yang matang agar bukan sekadar wacana.

Menjaga Harapan di Tengah Realitas Kompleks

Program Sekolah Rakyat adalah inisiatif yang lahir dari niat mulia untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan. Optimisme menyambut target 45 sekolah yang siap beroperasi pada Juli 2025 tentu perlu kita jaga. Namun, demi keberhasilan jangka panjang dan untuk menghindari jebakan klasik proyek ambisius, pemerintah perlu memastikan transparansi dalam setiap tahapan, standar operasional yang jelas dan terukur, serta mekanisme akuntabilitas yang ketat. Mengatasi kompleksitas lapangan, mulai dari pengadaan lahan, proses seleksi siswa yang benar-benar inklusif, hingga penyediaan guru berkualitas dengan dukungan fasilitas memadai, akan menjadi kunci utama apakah program ini akan menjadi mercusuar harapan atau sekadar catatan sejarah.

Redaksi: Puput Wahyu Nurmasanti, M.Pd. (Tenaga Kependidikan Fakultas Humaniora UNIDA Gontor)