UNIDA Gontor – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden adalah titik balik penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Selama dua dekade terakhir, ambang batas menjadi pagar tinggi yang hanya bisa dilompati oleh partai besar atau koalisi kuat. Kini, pagar itu runtuh. Peluang terbuka lebar. Tapi seperti halnya revolusi, perubahan ini tak datang tanpa risiko.
Sejak diberlakukan melalui Undang-Undang Pemilu, presidential threshold telah menjadi sumber polemik. Argumen pendukungnya adalah penyederhanaan jumlah calon dan jaminan stabilitas pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, aturan ini justru membatasi pilihan rakyat dan mengunci akses tokoh-tokoh potensial non-partai. Maka, ketika MK menyatakan aturan ini inkonstitusional, banyak pihak menyambut sebagai angin segar bagi demokrasi yang lebih inklusif.
Dengan ambang batas dihapus, kita mungkin akan melihat lebih banyak wajah baru dalam kontestasi Pilpres. Tokoh-tokoh independen, pemimpin daerah, akademisi, bahkan aktivis sosial kini punya kesempatan maju. Demokrasi kita tampak lebih segar dan kompetitif. Namun, euforia ini sebaiknya tidak membutakan kita dari tantangan yang menanti.
Kita harus jujur: tanpa presidential threshold, Pemilu 2029 hampir pasti diikuti banyak calon. Fragmentasi suara menjadi risiko nyata. Pemilu dua putaran mungkin tak terhindarkan. Koalisi pasca-pemilu bisa menjadi lebih cair dan rapuh, dengan potensi bargaining politik yang berlarut-larut. Ini bukan hal buruk secara otomatis, tapi jelas butuh kedewasaan politik dan institusi yang kuat untuk mengelolanya.
Disisi lain, banyaknya pilihan belum tentu menjamin kualitas. Jika partai dan publik tidak disiapkan dengan pendidikan politik yang memadai, yang akan menang bukanlah yang terbaik, melainkan yang paling populer. Media sosial bisa menjadi pertarungan opini dangkal, bukan gagasan kebijakan. Politik uang dan politik identitas berpotensi makin subur jika ruang persaingan tidak diawasi ketat.
Artinya, putusan MK ini bukan akhir dari perjuangan demokratisasi – ini justru awal dari pekerjaan rumah yang lebih besar. Kita perlu mendorong reformasi sistem kepartaian, memperbaiki tata kelola Pemilu, serta memastikan independen KPU dan BAWASLU. Selain itu, literasi politik masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat harus mampu menilai calon bukan dari slogan, tapi dari rekam jejak, visi, dan kapabilitas.
Putusan MK adalah peluang emas untuk membangun demokrasi yang lebih adil dan terbuka. Namun, tanpa kesadaran kolektif dan kesiapan kelembagaan, peluang ini bisa berubah menjadi petaka. Demokrasi bukan hanya soal membuka pintu, tapi juga menjaga siapa yang masuk dan bagaimana mereka memimpin setelahnya.
Redaksi: M. Anugrah Putra Mahardika, Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional
Editor: Ida Susilowati, M.A., Dosen Prodi Hubungan Internasional