Raja Ampat, Kepulauan yang diakui sebagai jantung biodiversitas laut global dan kini juga UNESCO Global Geopark, secara ironis masih menjadi arena pertarungan antara ambisi eksploitasi dan keharusan konservasi. Keputusan pemerintah baru-baru ini untuk mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel – milik PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham- merupakan respon atas desakan publik, temuan pelanggaran lingkungan UU No. 1/2014 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta fakta bahwa Sebagian IUP tersebut tumpang tindih dengan Kawasan Geopark. Langkah ini, meskipun patut diapresiasi, belum cukup. Pertanyaan fundamental yang muncul adalah: mengapa PT Gag Nikel, yang telah beroperasi di Pulau Gag sejak tahun 1970-an, dikecualikan?
Pemerintah berargumen bahwa izin PT Gag Nikel merupakan Kontrak Karya dari pusat, telah ada sejak lama, dan diklaim berada di luar Kawasan Geopark, dengan ekosistem pesisir yang masih terjaga, namun, klaim ini bertentangan dengan temuan Greenpeace dan organisasi lingkungan lainnya, yang menunjukkan kerusakan hutan lebih dari 500 hektar serta ancaman sedimentasi parah terhadap terumbu karang di sekitar wilayah operasi PT Gag Nikel. Konflik antara narasi pemerintah dan realitas di lapangan ini menggarisbawahi paradoks dalam kerangka regulasi pertambangan di Indonesia, di mana izin lama seringkali menjadi pembenaran untuk terus beroperasi, bahkan di area sensitif.
Dampak penambangan nikel di Raja Ampat bersifat multidimensional dan merusak. Secara ekologis, sedimentasi yang dihasilkan menghambat fotosintesis terumbu karang, merusak habitat vital, dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Hilangnya hutan mangrove juga memperparah risiko abrasi. Secara sosial, Masyarakat lokal yang bergantung pada sektor perikanan dan ekowisata mengalami pergeseran mata pencaharian serta potensi konflik internal. Meskipun ada janji ekonomi, biaya eksternal jangka Panjang berupa kerusakan lingkungan dan sosial jauh melampaui manfaat ekonomi jangka pendek dari nikel. Investigasi Bareskrim Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup yang sedang berjalan menunjukkan keseriusan dalam menindak dugaan pidana lingkungan, tetapi penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu sangat krusial.
Raja Ampat adalah asset global yang tak ternilai; mengorbankannya demi keuntungan ekstraktif jangka pendek merupakan kegagalan memahami esensi Pembangunan berkelanjutan. Pemerintah harus melakukan evaluasi ulang komprehensif terhadap seluruh izin tambang, memberlakukan moratorium penambangan permanen di seluruh Kawasan konservasi, memperkuat tata ruang berbasis konservasi, dan memberdayakan ekonomi Masyarakat lokal yang berbasis keberlanjutan. Masa depan Raja Ampat, sebagai pusat keanekaragaman hayati dan sumber kehidupan masyarakatnya, bergantung pada komitmen nyata kita untuk melindunginya.
Redaksi: Puput Wahyu Nurmasanti, M.Pd. (Tenaga Kependidikan Fakultas Humaniora UNIDA Gontor)