UNIDA Gontor – Al Ustadz Dr. Ahmad Suharto mengawali presentasi dengan kisah. Di mana, beliau bertemu alumni-alumni. Dan bertanya: “usia pondok 100 tahun ini apakah sudah tua?”
“Banyak yang menjawab demikian. Padahal jika direnungkan, itu tidak selalu demikian” pungkas beliau.
“Bagi suatu lembaga pendidikan, usia 100 tahun – apalagi untuk Gontor yang visinya sudah melampaui zaman itu – tergolong muda.”
Apa yang disampaikan saat ini, adalah hasil renungan beliau. Setelah mendengar nasehat dari K.H. Hasan Abdullah Sahal. Yang menyatakan bahwa: “Piagam Wakaf harus dikaji terus menerus. Dikaji dan dipahami kata-per-kata”.
Atas dasar itulah, presentasi hari ini adalah tentang itu.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bagaimana posisi Gontor lama dan prestasinya. Hingga meredup di era setelahnya.
Di masa itu, dari 7 bersaudara putra putri Kiai Santoso Anom Besari, tinggal 3 orang yang siap melanjutkan. Dengan usia muda mereka. Dari 3 yang tertua, yang tertua saat itu berusia 17 tahun. Yakni K.H. Ahmad Sahal.
Beliau mengingatkan pesan K.H. Hasan Abdullah Sahal. Bahwa Gontor sudah menjadi inspirator dalam hal lembaga pendidikan. Maka ini bagaimana nanti agar anak anak kita selalu menjadi inspirator. Lebih dari sekedar yang sudah ada.
Tekad inspirator beliau, sering kita dengar dari pidato K.H. Hasan Abdullah Sahal: “Jika Gontor hanya menjadi pondok seperti yang lain, maka tidak usah kita berdiri. Jika kamu tidak berusaha lebih baik dari saya, lebih baik saya tidak usah mati. Dan kamu sekalian tidak usah lahir. Karena hanya menghabiskan jatah beras.”
Dari sisi data ilmiah, bahwa Gontor berdiri karena berbagai faktor. Termasuk karena tradisi pesantren di Indonesia. Yang diawali dari Walisongo di Ampel, Denta, Surabaya. Hingga meluas ke Demak, Bintoro, lalu Cirebon.
Pesantren adalah benteng pertahanan Islam di Indonesia. Dari dulu hingga sekarang. Ini juga tercakup dalam piagam Wakaf – dalam narasinya, untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam.
Apa yang ada sekarang, adalah hasil ijtihad. Dan pencarian panjang. Oleh Trimurti tersebut. Pak Sahal masa itu, sudah pernah mondok di banyak pesantren. Dari Jawa bagian Timur (Siwalan Panji, Langitan, Tremas, bahkan di sekitaran Ponorogo).
K.H. Imam Zarkasyi juga mondok hingga Surakarta (Jamsaren, Mamba’ul Ulum, juga sekolah Arab Al Hasyimi).
Saat di tempat terakhir, Al Hasyimi sudah menyampaikan bahwa Pak Zarkasyi layak berangkat ke Mesir. Berbeasiswa. Namun saat itu, kuota sudah diambil. Oleh keturunan Arab di sekitar situ.
Lalu Omar Al Hasyimi merekomendasikan agar Pak Zarkasyi berguru ke Sekolah di Padang Panjang. Yang didirikan oleh orang Indonesia yang tamat dari Al Azhar dan Darul Ulum sekaligus.
Pak Fanani juga mondok. Yang menarik, saat mondok di Madrasah Mubalighin. Yang didirikan oleh KH Mas Mansyur. Padahal awalnya beliau dari Surabaya. Namun tertarik dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan. Lantas diamanati untuk mendirikan sekolah tersebut.
Pak Fanani setelah lulus dari situ, ternyata menjadi Konsul Muhammadiyah di Sumatera. Dalam bahasa sekarang, sepertinya pimpinan Cabang Muhammadiyah.
Dan begitulah, bahwa gerakan pembaharuan pemikiran Islam diawali dari Sumatra Barat. Perang Padri masa itu. Yang awalnya konflik antara tradisionalis dan Haji Miskin. Namun akhirnya mereka bersatu melawan Belanda.
Dalam hal ini, saya menyimpulkan bahwa Gontor adalah pioner dalam bidang Pendidikan Pesantren Modern.
Harakat tajdid dan Islah tingkat internasional cukup memengaruhi Gontor. Dalam hal kurikulum. Khususnya dalam mengajarkan Ilmu Agama dan Umum. Di mana era tersebut, pesantren tradisional masih belum ada. Dan ilmu umum hanya ada di sekolah Belanda.
Termasuk juga 4 Sintesa yang ada di Gontor. Dari kesemuanya, diambil unsur penting untuk dibentuk kembali menjadi Gontor.
Gontor dan Wakaf Holistik.
Apa yang diwakafkan Gontor bukan hanya materi. Namun juga nilai-nilai serta sistem yang memang ditetapkan. Serta dijalankan hingga sekarang.
Ada lagi jenis wakaf lain di Gontor. Seperti ‘manusia wakaf’ (waqf basyari). Belum lagi unit usahanya. Yang juga sepenuhnya wakaf.
Hal itu adalah salah satu inspirasi visioner para Trimurti. Agar lembaga pendidikan menjadi bersistem wakaf. Agar tidak diperebutkan setelah matinya Kiai.
Ide tersebut sudah ada sejak 1926. Meski secara lisan. Baru pada akhirnya 1958 diwakafkan secara resmi.
Gontor juga mengadakan peringatan di tahun-tahun penting. Yang selalu meninggalkan legacy. 10 tahun pertama melahirkan KMI. Selanjutnya, ada Perguruan Tinggi (Bovenbow). Lalu ada lagi. Dan lagi. Hingga diwakafkan tahun 1958.
Artinya, ada proses sebelum Gontor mewakafkan pondok. Termasuk di antaranya meninggalkan beberapa tanah pribadi yang tidak diwakafkan. Agar keluarganya, tidak tinggal di tanah wakaf. Artinya tidak diwakafkan total. Atau wakaf tersebut diperebutkan/sengketa. Karena statusnya yang kurang jelas – mana yang wakaf dan mana yang belum.
Nilai-nilai pondok juga termasuk diwakafkan. Dalam hal ini agar dijaga dan tidak berubah. Namun tetap memiliki ruang dan kemampuan untuk berkembang dari sisi sistem. Saat ini, slogan yang dikembangkan:
المحافظة على القيم و التغيير إلى الكمال
Inti saripati dari Piagam Wakaf:
- Wakaf sebagai fondasi utama.
- Sakralitas sebagai identitasnya.
- Berbasis nilai, falsafah dan etos yang Islami.
- Kemandirian menjadi pilar utama.
- Dan lainnya.
Kita dalam hal ini, mengamalkan Piagam Wakaf pondok. Meski melalui persepsi subjektif masing-masing. Lalu kita semuanya sama-sama ‘urunan’. Serta melaksanakan secara terpimpin.
Ini sudah menjadi tradisi sejak awal diwakafkan. Yakni bukan sekedar mewakafkan bangunan atau fasilitas. Tetapi juga nilai, SDM, serta sarana untuk bisa berkembang secara berkelanjutan dan mandiri.
Bentuk pendidikan di Gontor – juga diambil dari sintesa yang ada. Namun juga dikembangkan menyesuaikan kultur pesantren di Indonesia. Orientasi pendidikannya: Keislaman, Keilmuan, dan Kemasyarakatan. Ini memang hasil dari ide tentang: ‘menjadi ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama’.
Dari profil itu, alumni Gontor sudah berhasil. Dan menjadi apapun. Baik profesi serta kedudukannya. Ini adalah kebutuhan bangsa kita saat ini. Banyak ulama namun tidak melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, banyak ilmuan yang sekuler dan tidak memahami agama.
Sistem Wakaf Gontor ini, sebenarnya bisa digunakan. Dalam skala luas. Entah untuk lembaga pendidikan maupun jenis lainnya. Karena dengan sistem kepemilikan pribadi, akan rawan terjadi siklus ‘generasi ketiga’. Yang sering menjadi ‘penikmat’ dan mengakhiri kejayaan lembaga.
Wakaf Modern di Gontor tetap memiliki kultur dan struktur pesantren. Bukan sekedar sistem evaluasi dan manajemen secara modern. Ini karena kekuatan dan solidnya internal.
Redaksi: Muhammad Taqiyuddin
Editor: Rifki Aulia