Back

Model Pembinaan Mahasiswa di Perguruan Tinggi Pesantren: Gagasan, Nilai, dan Tantangan Masa Depan

Perguruan tinggi pesantren unida gontor

UNIDA Gontor – Kajian ini dimulai dengan moderator. Ust Dr. Hasib Amrulloh memulai dengan penjelasan pentingnya forum Kepesantrenan ini. Selain itu, segala hal terkait perkembangan pesantren ini adalah iuran. Dari berbagai persamaan dan perbedaan pemahaman tentang Gontor dan nilai-nilainya.

Doa dari pendiri pondok, sebagian sudah tercapai di masa sekarang ini. Sudah ada universitas sebagai kelanjutan KMI. Sudah ada Fakultas Kedokteran. Sudah ada berbagai kegiatan di tingkat universitas ini. Namun perjalanan ini masih panjang.

Salah satu yang menjadikan tempat ini ‘besar’, karena sudah diwakafkan. Dalam arti, cita-cita di sini bukan hanya sekedar kepentingan pribadi, atau sekelompok golongan tertentu.

Sesi pun dimulai. Yang menjadi pemateri adalah Assoc. Prof. Dr. M. Kholid Muslih, M.A. Temanya tentang Model Pembinaan Mahasiswa di Perguruan Tinggi Pesantren Terintegrasi. Beliau memulai dengan pernyataan, bahwa ‘pembinaan’ adalah ‘membantu’ mahasiswa untuk menemukan bakat, potensi, talenta, serta mengembangkannya. Hal ini sangat perlu untuk dipahami bagaimana cara, langkah, strategi, dan detail teknisnya.

Dari beberapa hal yang sering terjadi di tingkat pendidikan tinggi, kita sering mendengar adanya keluhan mahasiswa. Bahwa setelah 2-3 semester belum menemukan ‘passion’. Atau hal-hal penting dari kemampuan dirinya, karena merasa tidak melalui jalur pembinaan yang benar. Hal ini tentu belum tentu bisa dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri.

Belum lagi, sejatinya sudah banyak terdapat kegiatan untuk menuju ke situ di tingkat program studi. Berikut pula kegiatan harian lainnya. Salah satu contoh dari itu, adalah proyek yang sedang kami kerjakan. Yaitu penulisan mushaf Gontor. Kegiatan ini bisa jadi melejitkan potensi individu tertentu dalam bidang khot. Khot adalah salah satu instrumen penting dalam peradaban Islam. Hingga saat ini pun, kesenian ini menjadi suatu hal yang penting.

Kembali ke tujuan dari pembinaan ini. Bahwa Gontor menginginkan alumninya untuk bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Secara mendasar, mungkin bisa disebut: a) agar mahasiswa menemukan visi dan misi untuk kehidupannya, b) membantunya menjadi bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat nanti.

Makna lain dari pembinaan, bisa muncul dalam istilah seperti mengembangkan: a) raghbah – tekad, kemauan. b) qudrah – kompetensi dan talenta. c) furshoh – kesempatan/momentum untuk berhasil. d) melampaui awaiq – tantangan/hambatan, serta keterbatasan yang dimiliki. Dari semua hal tersebut, pastinya membutuhkan proses untuk membentuk kepakaran, keahlian, dan otoritasnya.

Dari visi misi, tujuan, serta profil lulusan dengan capaian 15 kompetensi yang dituju, kita bisa meringkas 7 tujuan: a) beriman, b) berakhlak mulia, c) berpengetahuan luas, d) berfikiran kreatif, e) menguasai 15 kompetensi, f) mampu mengaplikasikan ilmu secara kreatif dan inovatif, g) mampu bersaing di tingkat nasional/internasional.

Hal-hal seputaran pembentukan kompetensi, tekad, dan otoritas, adalah terkait dengan diri mahasiswa itu sendiri. Baik berupa : a) tekad, b) spiritualitas, c) pengetahuan & keterampilan, d) moralitas & mentalitas. Bagi Dr. Kholid Muslih, spiritualitas para ilmuwan berbeda dengan lainnya. Karena kebutuhan utama seorang akademisi adalah menghasilkan karya baru dengan sentuhan Ilham dari Allah. Selain itu, bisa jadi karyanya menjadi lebih berdampak. Hal ini sudah dicontohkan oleh ulama kita pada masa lalu. Para ulama hadits misalnya, melakukan berbagai upaya untuk melakukan verifikasi dan validasi atas kesahihan hadits.

Tentang bagaimana mahasiswa mendapatkan keterampilan dan pengetahuan, ini bisa jadi disumbangkan oleh program studi. Selain itu, kegiatan di pondok menyediakan ruangan untuk mengembangkan moralitas, mentalitas, serta lainnya. Ada contoh lagi tentang bagaimana kegiatan dapat berkontribusi kepada itu. Yakni kisah ketika KH Imam Zarkasyi menyuruh seorang santri membeli cat dan kembali pada 1 jam kemudian.

Saat pulang, santri tersebut melaporkan bahwa toko cat yang dituju tutup. Setelah santri itu pergi dan hilang dari pandangan, beliau menyampaikan kepada guru yang ada di situ: “pulang setelah 1 jam dan menjawab demikian, itu moralitas. Tidak mampu mendapatkan cat, itu mentalitas.” Artinya, beliau ingin mengajarkan bahwa bisa saja kita tidak dapat cat di Ponorogo, namun bisa mencari di tempat lain.

Pembinaan melalui sistem staf di UNIDA dan Gontor bisa menjadi salah satu model pembinaan. Karena staf memiliki peluang untuk berkembang lebih saat sudah lulus S-1. Bahkan dia sudah melanjutkan menjadi staf S-1, baik sambil studi S-2 atau menyelesaikan pengabdian. Meski kita memiliki tendik, staf adalah kader kita di masa mendatang. Baik di pondok ini maupun di masyarakat kelak.

Selain itu, kita perlu mengapresiasi hal-hal yang kadang tidak selalu menjadi prestasi yang bisa dibanggakan. Contohnya, ada mahasiswa yang mau mengajar TPA, menjadi staf, serta melakukan hal-hal lain yang bisa kita katakan mengurangi jam untuk dia bisa berprestasi. Hal ini sebenarnya merupakan prestasi tersendiri. Karena keberadaannya sudah menjadi arti tersendiri dalam ranah masyarakat, lingkungan sekitar, maupun dirinya sendiri.

Pembangunan fasilitas penunjang di Gontor masih terus berjalan. Karena untuk melahirkan akademisi dan praktisi yang hebat, membutuhkan juga fasilitas untuk latihan. Selain itu, ruang-ruang pembentukan karakter, pengembangan mental dan keterampilan juga masih perlu ditambah.

Ada soal menarik terkait presentasi beliau. Yakni, apakah seorang santri jika nanti mendalami sepak bola, nantinya bukankah kehilangan pemahaman tentang nilai Gontor? Beliau menjawab, bahwa sistem tarbiyah kita sebenarnya bisa berkembang. Pembinaan mahasiswa bisa lebih cepat terwujud jika adanya semakin banyak kontribusi dosen Pembimbing Akademik. Contohnya, agar setiap mahasiswa yang dibimbing memiliki road map. Seolah memiliki proposal kepada Allah tentang menginginkan jalan hidup seperti apa.

Di akhi jawaban, beliau menjelaskan perlunya 2 jenis tarbiyah, selain dari tarbiyah dzatiyah. Kita terkadang hanya fokus terkait tarbiyah jamaiyah. Namun melupakan tarbiyah fardiyah. Yakni memperhatikan mahasiswa satu per satu. Dan ini tentu cukup berat. Karena harus menemani mahasiswa dalam waktu yang lama, untuk dapat melihat potensi dan mengembangkannya.

Ada bagusnya, jika mahasiswa kita terjun ke berbagai ranah selain akademik. Bila ingin menjadi pengusaha misalnya, tentu kuliah bisa jadi menghambat kebutuhan dia untuk segera belajar, membangun jaringan, serta lainnya. Namun hal ini betul-betul perlu dipertimbangkan berdasarkan bakat dan kompetensinya. Apalagi, kebanyakan fokus kita adalah untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan.

Terakhir, kita perlu tetap optimis. Untuk mengawal perkembangan tersebut. Karena bisa jadi, tinggal doa kita yang mampu mengantarkan kesuksesan mereka. Karena bisa jadi, doa kita bisa menguatkan tekad mereka untuk berhasil.

Dr. Muhammad Taqiyuddin, S.H.I., M.Ag. (Dosen Islamisasi UNIDA Gontor)