UNIDA Gontor – Pada hari Senin (26/05/2025), dilaksanakan Family Gathering Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor yang dilaksanakan di aula CIOS UNIDA GONTOR tentang Islamofobia di Thailand.
Kegiatan ini dihadiri oleh ratusan hadirin dari mahasiswa, dosen, serta tamu undangan dari berbagai kalangan. Antusiasme peserta tampak jelas dari penuh sesaknya ruangan dan interaksi aktif yang terjadi selama jalannya acara. Acara ini menjadi momen penting untuk membuka wawasan para civitas akademika, khususnya di Fakultas Humaniora UNIDA Gontor, tentang kondisi umat Islam di negara-negara minoritas, khususnya di Thailand.
Dalam diskusi ini dijelaskan bahwa mayoritas Masyarakat di Thailand Selatan adalah Muslim. Dan konflik seakan sudah menjadi bagian dari sejarah di Thailand Selatan. Karena konflik tersebut, stigma negatif kemudian menempel kepada umat Muslim secara general. Selain itu karena mayoritas Masyarakat Thailand adalah Budha, gesekan antar-umat beragama di Thailand Selatan sering terjadi. Media juga sering memberitakan hal-hal negatif tentang Muslim, apalagi setelah kejadian 9/11.
Narasumber utama dalam acara ini, Dr. Anwar Koma, adalah seorang akademisi sekaligus pengamat isu-isu sosial-politik Asia Tenggara yang telah melakukan riset mendalam mengenai dinamika umat Islam di Thailand. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan secara rinci tentang bentuk-bentuk Islamofobia yang dialami oleh Muslim Thailand, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Beliau juga menampilkan data statistik, dokumentasi lapangan, serta testimoni langsung dari komunitas Muslim Thailand yang memperkuat narasi yang disampaikan
Di tengah diskusi salah satu peserta melemparkan pertanyaan, “Kenapa orang Thailand merasa terancam dengan Islam? Apakah ada hubungannya dengan LGBTQ+? Soalnya, LGBTQ+ dan Islam kan bertentangan” ujarnya.
Pertanyaan itu dijawab oleh Dr. Anwar Koma. Dr. Anwar menjelaskan, di Thailand ada 4 kelompok minoritas. Dua di antaranya adalah Muslim dan LGBT. Tapi, menurut beliau, tidak ada hubungan langsung antara Islam dan transgender soal kenapa orang Thailand merasa terancam. Itu dua hal yang berbeda. Tapi kita bisa lihat, kelompok LGBT di Thailand justru dilindungi dan didukung oleh pemerintah. Jadi, harusnya minoritas lain, seperti Muslim, juga bisa dapat perlindungan yang sama.
Beberapa pertanyaan lain juga menyinggung peran diplomasi, media sosial, dan organisasi kemanusiaan internasional dalam membela hak-hak Muslim minoritas.
Tak hanya menjadi ajang intelektual, acara ini juga dikemas dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan. Nuansa family gathering terasa dari format tempat duduk yang santai, sajian ringan yang dibagikan kepada peserta, serta sesi foto bersama di akhir acara. Kegiatan ini diharapkan dapat mempererat hubungan antara mahasiswa, dosen, dan seluruh elemen kampus, sekaligus memperkuat solidaritas umat Islam secara global.
Akhirnya, disimpulkan bahwa masalah Islamofobia di Thailand lebih disebabkan karena konflik politik dan perbedaan budaya, bukan karena transgender atau hal lain. Dan dengan berakhirnya acara pada pukul 15.00 WIB, peserta diharapkan membawa pulang bukan hanya pengetahuan baru, tetapi juga semangat untuk lebih peduli dan berkontribusi dalam membela umat Islam yang tertindas di manapun berada. UNIDA Gontor terus berkomitmen untuk menjadi pusat keilmuan yang tidak hanya fokus pada pengembangan akademik, tetapi juga pada pembangunan karakter dan kepedulian terhadap umat. Sebagai wujud cita-cita menuju universitas Islam terbaik.
Redaksi: Haidar Afkari Rofiqi/M. Raffa Ervansyah
Editor: Rifki Aulia