UNIDA Gontor — Industri kosmetik halal dalam beberapa tahun terakhir tumbuh jauh melampaui sekadar fenomena pasar di negara-negara mayoritas Muslim. Ia menjelma menjadi gerakan global yang mengintegrasikan dimensi keyakinan, keamanan bahan, transparansi produksi, serta etika keberlanjutan. Kosmetik halal sering kali dipersepsikan hanya sebagai tuntutan religius, namun dinamika industri justru memperlihatkan realitas yang lebih kompleks. Para konsumen, baik Muslim maupun non-Muslim, kini memaknai halal sebagai indikator kualitas dan keamanan yang dapat dipercaya. Konsep halal telah berevolusi menjadi standar baru dalam dunia kecantikan, bukan lagi sekadar label pelengkap.
Di balik popularitas tersebut, terdapat tantangan fundamental yang jarang disorot, salah satunya menyangkut autentikasi bahan. Banyak produk kecantikan masih menggunakan derivat hewani, termasuk kolagen dan gelatin babi, yang secara teknis sulit dideteksi dalam matriks kosmetik yang kompleks. Metode seperti RT-PCR kerap dijadikan rujukan utama untuk mengidentifikasi DNA porcine, namun proses ekstraksi DNA dari lotion, foundation, atau lipstik bukan pekerjaan sederhana. Beragam senyawa kimia dalam formulasi kosmetik dapat menghambat proses amplifikasi DNA. Tanpa optimasi metode yang khusus dan ketat, klaim halal berpotensi tidak sepenuhnya terverifikasi secara ilmiah. Hal ini menegaskan bahwa sertifikasi halal tidak boleh berhenti pada tataran administratif; ia harus ditopang oleh bukti laboratorium yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari sisi konsumen, perubahan perilaku tampak semakin signifikan. Berbagai studi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa religiusitas memang menjadi pendorong utama, tetapi bukan satu-satunya faktor. Gen Z dan milenial, dua kelompok yang kini mendominasi pasar kecantikan, memandang kosmetik halal sebagai simbol kepercayaan, keamanan, dan etika. Label halal memegang fungsi ganda: sebagai penanda kesesuaian dengan syariat, sekaligus jaminan bahwa produk bebas dari bahan berbahaya, diproduksi secara higienis, serta transparan dalam rantai pasok. Dalam konteks e-commerce, kehadiran logo halal terbukti meningkatkan niat beli secara signifikan, terutama karena konsumen tidak dapat memeriksa kondisi fisik produk secara langsung dan sangat bergantung pada informasi yang tercantum pada kemasan maupun platform digital.
Tantangan berikutnya muncul di tingkat regulasi. Perbedaan standar sertifikasi antar negara menimbulkan kerancuan bagi produsen yang beroperasi secara global. Persyaratan yang dianggap cukup di satu yurisdiksi dapat berbeda, bahkan lebih ketat, di negara lain. Ketidakharmonisan ini menyulitkan brand besar untuk secara optimal mengakses pasar halal global yang pertumbuhannya kian menjanjikan. Indonesia, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), telah menegaskan kewajiban sertifikasi halal untuk produk kosmetik mulai 2026. Namun, kebijakan ini menuntut kesiapan yang serius: peningkatan kapasitas dan infrastruktur laboratorium, pendampingan dan penguatan kapasitas pelaku usaha, serta edukasi konsumen yang berkelanjutan. Tanpa ekosistem pendukung yang memadai, kewajiban sertifikasi dikhawatirkan justru menjadi beban tambahan bagi industri, bukan pendorong peningkatan daya saing.
Yang menarik, tren kosmetik halal kini beririsan kuat dengan gerakan clean beauty dan ethical beauty. Konsumen non-Muslim pun mulai melirik produk berlabel halal karena diasosiasikan dengan produk yang lebih aman, lebih ramah lingkungan, dan lebih etis. Karakteristik seperti bebas dari jenis alkohol tertentu, tanpa bahan hewani berisiko, tidak diuji coba pada hewan, serta memanfaatkan bahan-bahan alami menjadikan produk halal relevan bagi segmen pasar yang lebih luas. Pencarian daring global juga menunjukkan peningkatan minat terhadap istilah seperti “halal & clean beauty”, yang menandakan bahwa nilai-nilai halal selaras dengan kesadaran konsumen kecantikan modern terhadap kesehatan, lingkungan, dan tanggung jawab sosial.
Jika ditarik lebih dalam, transformasi industri kosmetik halal merefleksikan perubahan paradigma yang lebih besar dalam dunia kecantikan. Halal tidak lagi dipahami hanya sebagai kategori produk, tetapi sebagai kerangka nilai (value framework) yang dinilai penting oleh konsumen, mencakup aspek keamanan, transparansi, etika, dan keberlanjutan. Mengabaikan dimensi ini berarti mengabaikan preferensi konsumen yang semakin kritis, rasional, dan terinformasi. Brand yang tidak mampu beradaptasi berpotensi kehilangan pasar, terutama di kawasan Asia Tenggara yang mulai menjelma menjadi salah satu pusat pertumbuhan industri kecantikan dunia.
Dengan seluruh dinamika tersebut, jelas bahwa kosmetik halal bukan lagi sekadar pilihan tambahan atau ceruk pasar yang sempit. Ia telah berkembang menjadi standar baru yang membentuk identitas merek dan memengaruhi keputusan pembelian. Untuk benar-benar memenuhi ekspektasi konsumen modern, pelaku industri kecantikan perlu melangkah lebih jauh daripada sekadar mencantumkan logo halal pada kemasan. Mereka harus membangun sistem produksi yang transparan, etis, dan berbasis pembuktian ilmiah. Tanpa fondasi tersebut, kosmetik halal berisiko terjebak menjadi label tanpa substansi, padahal potensinya jauh lebih besar: membangun kepercayaan jangka panjang sekaligus mereposisi masa depan industri kecantikan global ke arah yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Redaksi : Ulima Zada Kusbawanto (Mahasiswi Prodi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UNIDA Gontor)






