Back

Ancaman Ekonomi Energi Global di Tengah Konflik Iran dan Israel

Peta jalur pelayaran kapal tanker di Selat Hormuz yang menjadi pusat distribusi minyak dunia dan terdampak konflik Iran-Israel.

Aksi serangan dan upaya pertahanan dari konflik antara Iran dan Israel sejak 13 Juli 2025  tengah mengancam stabilitas ekonomi energi global. Sebab kilang-kilang minyak yang memasok ekspor minyak dunia mengalami kerusakan sehingga menyebabkan produksi minyak terhambat dan suplainya berkurang. Disamping itu, Iran juga mengancam menutup Selat Hormuz sebagai jalur penghubung distribusi utama minyak timur tengah. Selat Hormuz yang dikuasai Iran merupakan jalur ekonomi maritim mumpuni yang menghubungkan Negara-negara Teluk (Gulf Countries) ke Eropa, Amerika, dan Asia.

Upaya intimidasi Israel terhadap Iran diduga karena tudingan Israel menganggap Iran melanggar perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir sebagaimana yang dinyatakan oleh Badan Tenaga Atom Internasional tanggal 12 Juni lalu. Kemudian, Israel menyerang Iran sebagai bentuk aksi bela diri dan pencegahan ancaman dari kelanjutan Iran merampungkan bom nuklirnya. Namun, Iran menyatakan bahwa program nuklirnya bukan ditujukan untuk aksi kekerasan tetapi untuk kebermanfaatan dan kedamaian global. Tindakan Israel yang dianggap provokasi ini memicu respon global dan mempengaruhi kestabilan ekonomi politik Timur Tengah, termasuk terganggunya jalur distribusi bagi kapal global untuk menyebrangi Selat Hormuz dan Laut Merah sebagai gerbang bagi industri minyak dunia.

Konflik Iran dan Israel yang telah berlangsung beberapa hari tersebut menyebabkan kerusakan pada kapal tanker minyak yang membawa 2 juta barel minyak mentah Irak ke Tiongkok dan Global Shipping Holding Ltd. yang berpusat India berlayar menuju Terusan Suez, Mesir di Selat Hormuz sehingga mengalami gangguan sistem navigasi laut pada jalur strategis antara Iran dan Oman. Selat Hormuz menjadi jalur distribusi rutinitas bagi minyak mentah, kondensat, dan bahan bakar negara-negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), seperti Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait. Kemudian, merupakan jalur utama bagi Qatar sebagai eksportir gas alam cair (Liquefied Natural Gas) terbesar dunia.

Maka, ketika kilang produksi minyak menjadi sasaran eskalasi konflik dan penutupan logistik di  Selat Hormuz diterapkan Iran, akan mempengaruhi stabilitas perdagangan minyak internasional, karena berdampak pada daya suplai (supply) dan permintaan (demand) pasar global. Dalam hal ini, permintaan minyak sebagai bahan energi terus bertambah sedangkan suplai minyak berkurang sehingga aktivitas produksi dan distribusi yang tersendat menyebabkan modal naik dan harga di pasar menjadi naik.

Dilansir dari Tempo, beberapa negara yang mulai terkena dampak adalah Thailand, Inggris, Cina, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Pakistan karena lebih dari 50% asupan minyak dan gas energinya impor dari Timur Tengah. Maka, ketika harga minyak mentah naik akan meningkatkan bahan bakar dan listrik yang berpotensi terjadinya inflasi. Jika terjadi inflasi maka harga barang-barang pokok juga naik. Kinerja ini tidak hanya dinilai dari aspek domestik, tetapi juga menjadi efek domino bagi eksportir industri migas mereka ke negara importir. Lonjakan harga minyak global tersebut juga akan mengancam Indonesia, karena Indonesia masih bergantung pada impor minyak mentah maupun bahan bakar minyak dari negara Timur Tengah maupun negara-negara yang mendapat asupan bahan baku dari Timur Tengah sehingga subsidi energi akan membengkak dan harga non subsidi energi juga naik.

Redaksi: Afni Regita Cahyani Muis, M.A. (Dosen Hubungan Internasional Bidang Ekonomi Politik Internasional UNIDA Gontor)