Malam Literasi Santri (4) di unida gontor, universitas islam terbaik di indonesia - pesantren - mahasiswa

Oleh: Muhammad Faqih Nidzom

Duduk di tangga panggung, dua sosok itu membaca sebuah puisi singkat namun dalam tentang Gontor dan Literasi. Acara apakah itu?

Ada yang menarik di hari Jum’at, 1 Februari 2019 di kampus pusat Universitas Darussalam Gontor. Pasalnya, ada acara besar bertajuk “Malam Literasi Santri”. Acara ini dibagi menjadi tiga sesi seminar, dengan menghadirkan pembicara dari para tokoh alumni yang terkenal dan dibuka langsung oleh bapak Rektor Unida Gontor, Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi. Dua sosok yang membaca puisi tadi adalah Aji Surya dan Hariqo Wibawa, dua dari puluhan jurnalis alumni Gontor yang menyumbangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk terwujudnya acara tersebut.

Husein Sanusi, alumni Gontor yang juga editor senior di Tribunnews dan ketua panitia penyelenggara menyebut acara ini sebagai tribute dan dedikasi kepada alm. Ustad Nasrullah Zainul Muttaqin (Pak Atul). Almarhum memang dikenal sebagai guru sejati dalam dunia literasi Gontor.

Soft launching buku Ust Nasrullah Zainul Muttaqin Zarkasyi
Soft launching buku Ust Nasrullah Zainul Muttaqin Zarkasyi

Hal yang menarik adalah, belakangan tidak bisa dinafikan lagi bahwa banyak alumni Gontor yang bergerak di dunia literasi. Mereka juga lintas generasi. Diantara bukti kongkritnya adalah, banyaknya karya-karya tulis mereka, baik fiksi dan non-fiksi, dan di berbagai bidang.

Untuk menyebut beberapa contoh, dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam, muncul sederet penulis produktif seperti Prof. Nurcholis Madjid, Prof. Dr. Habib Chirzin, Prof. M. Amin Abdullah, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Adnin Armas, Dr. Henri Shalahuddin, dsb. Dalam wacana keislaman dan kebangsaan ada Prof. Juhaya S Praja, Dr. Yudi Latif, dsb.

Dalam kepondokmodernan ada Ust. Ahmad Suharto, dan tentu saja, alm. Ust. Atul. Masih banyak para penulis alumni Gontor lainnya.

Bahkan di karya non-fiksi, kita bisa menyebut nama Ahmad Fuadi dan Ma’mun Affany. Dengan novel-novelnya, mereka meniupkan angin segar untuk genre religius-romantis.

Selain itu, alumni Gontor juga tidak sedikit yang menjadi wartawan. Ada Pak Ikhwanul Kiram (Republika), Pak Uki M. Kurdi (Surya), Husein Sanusi (Tribunnews), Andre (Property&Bank), Yogi (Tribunnews), Erdy Nasrul (Republika), Dewi Yuhana (Malang Post), dll. Ada pula yang bergerak di bidang penerbitan, seperti Lukman Hakim Arifin (Rene Book) dan Sayuda Patria (Tosca Book). Di bidang tulisan motivasi dan softskill ada AN Ubaedy dan Akbar Zainuddin. Sementara di bidang tulisan diplomasi ada Aji Surya serta Elizabeth Diana.

Lukman Hakim Arifin menyerahkan hadiah buku kepada salah satu peserta dari Santri KMI Gontor

Dalam era revolusi industri 4.0 ini juga muncul Iskandar Zulkarnaen yang merupakan co-founder dari Kompasiana, Hariqo Wibawa yang konsisten dengan pengamatan terhadap konten dengan Komunikonten yang dibidaninya. Dan tentunya belum menyebut para alumni yang bergerak di Majalah Gontor seperti Akrimul Hakim, Deny Irawan, serta para kontributornya seperti Wiyanto Suud dkk.

Dengan ini, Gontor setidaknya telah berhasil mencetak para mundzirul qaum yang berdakwah dengan pena, menasehati dengan tulisan, dan memberi uswah dengan karya. Tidak mengherankan jika banyak yang bertanya, darimana dan bagaimana para penulis itu bisa lahir dari pesantren seperti Gontor.

 

Literasi dan Peradaban Islam, sesi pagi dari acara Malam Literasi Santri

Filosofi: akar ajaran menulis

Jika kita telaah, memang pada hakikatnya Gontor memberikan banyak pedoman kepada santrinya sebagai pijakan dalam dunia literasi. Setidaknya, penulis merangkumnya ke dalam empat hal.

Pertama, Gontor memang membudayakan tulis-menulis kepada para santrinya. Dari paling sederhana seperti menulis Insya’ Yaumi (karangan bebas), kewajiban menulis di majalah dinding asrama, menulis persiapan (i’dad) muhadharah dan praktik mengajar, atau yang cukup berat seperti paper untuk siswa akhir, tugas kuliah dan skripsi untuk mahasiswa.

Bahkan, banyak juga santri yang diwajibkan menulis pidato-pidato bapak pimpinan. Prof. Habib Chirzin bercerita, beliau banyak dilatih Kyai Zarkasyi untuk menulis pidato beliau, dan dikoreksikan secara langsung. Dr. Hamid demikian halnya, beliau diizinkan Kyai Zar untuk keluar kampus, dengan syarat harus menyerahkan tulisan ketika kembali. Dengan pendidikan seperti ini, Prof. Habib menyampaikan bahwa Gontor telah mrnjadikan tulis-menulis sebagai budaya santri, yang dengannya terbuka kesadaran diri dan sosial.

Prof Habib Chirzin menyerahkan buku kepada Rektor UNIDA Gontor, Prof KH Amal Fathullah Zarkasyi

Kedua, kurikulum pengajaran Gontor yang sangat mendukung literasi. Bagaimana tidak, selain karya lokal, pondok ini menyuguhkan sekian rujukan kaliber dunia kepada santrinya. Sebut saja karya Syeikh Salih al-Fauzani untuk materi Tauhid, Bulughul Maram karya Ibnu Hajar untuk Hadis, Bidayah al-Mujtahid untuk Fiqih, serta syair-syair tokoh besar seperti Imam as-Syafi’i, al-Mutanabbi dsb untuk Sastra dan Mahfudzot (adagium Arab). Belum lagi ditambah dengan agenda membaca Kutub Turats untuk siswa KMI kelas 5 dan 6.

Ketiga, Gontor menjadikan al-Azhar sebagai salah satu sintesa pondok. Ya, setiap disebut al-Azhar, yang terbersit di benak kita adalah statusnya sebagai lembaga wakaf, serta “kawah condro dimuko” yang melahirkan sekian banyak ulama kaliber dunia di berbagai bidang, dengan karya-karya yang produktif.

Untuk itulah, Prof. Habib Chirzin menyebut, sintesa pondok ini secara langsung menjadi simbol literasi yang melampaui zaman, visioner dan memiliki pandangan peradaban yang tinggi. Bagaimana tidak, trimurti yang tinggal dan mengelola pondok kampung terpelosok, tapi menjadikan al-Azhar sebagai rujukan.

Keempat, dan menurut saya paling penting, yaitu adanya uswah hasanah dari para pendiri dan pimpinan pondok secara langsung. Trimurti punya Senjata Pengandjoer, yang oleh Dr. Hamid sebut sebagai karya monumental dan banyak digemari pada masanya, seperti buku Misykat pada zaman sekarang.

Yudi Latif memberikan tanda tangan pada buku Negara Paripurna karyanya

Beliau juga menyebut, buku-buku kyai Zarkasyi seperti Durus al-Lughah, Fiqih, Tajwid, dll walaupun sederhana, tapi benar-benar menjadi pedoman, karena dulu tidak banyak yang menulis serupa. Sekarang kita lihat, Ustadz Syukri, Ust Hasan dan Ust Syamsul Hadi Abdan pun punya karya tulis yang menginspirasi, serta menjadi pelepas dahaga kepondokmodernan untuk para alumninya yang berjuang di luar kampus.

Dan begitulah. Jika kita amati, ternyata secara filosofis-praktis Gontor memang memberikan ruang yang luas kepada santrinya untuk ber-literasi, sehingga ajaran-ajaran sederhana tadi menjadi bekal berharga bagi para alumninya untuk terjun di dunia tersebut. Ini yang perlu disadari dan disyukuri oleh para santri dan alumni Gontor. Tentu kita ingat slogan “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu”.

 

Agenda: antara tantangan dan peluang

Ada banyak tantangan dan peluang dalam literasi ke depan. Prof. Dr. Amal Fathullah menyebut, diantara tantangannya adalah belum banyaknya karya-karya intelektual Indonesia yang ditulis dalam bahasa asing, Arab maupun Inggris.

Dr. Hamid menyebut beberapa tantangan lain. Beliau memulainya dengan menyebut Gontor ini sebagai super-system. Di dalamnya terdapat sekian banyak sistem yang khas dan unik dalam berbagai bidang. Misal, sistem kaderisasi, sistem ekonomi proteksi, sistem wakaf, sistem pengajaran dan pendidikan, sistem kepemimpinan dsb. Kesemuanya sistem itu dijaga oleh nilai-nilai dan SDM yang dikader dengan konsisten. Hal ini menjadi perhatian para akademisi, sehingga banyak yang ingin meneliti di Gontor, dalam berbagai aspek sistem tadi. Ada yang tingkat skripsi, thesis bahkan disertasi.

Di Gontor, nilai-nilai islami yang menjiwai SDM dan menjaga sistem tadi bukan sekadar slogan yang ditempel, diucapkan dan dihapal. Disini tidak perlu definisi keikhlasan dan kesederhanaan, persaudaraan, kemandirian dan kebebasan, tapi semua penghuninya hidup dengannya, dalam setiap gerak aktifitas. Nilai dan jiwa itu mewujud dalam perbuatan, visi bermanifestasi dalam aksi. Ini yang disebut Dr. Hamid dengan Living Wisdom.

Malam Literasi Santri di UNIDA Gontor Kampus Putri
Sambutan Dr Nur Hadi Ihsan, Pengasuh UNIDA Gontor Kampus Putri

 

Maka, beliau berharap super-system yang khas tadi ada yang menuliskannya secara konseptual. Nah, ini juga yang menjadi tantangan literasi santri Gontor ke depan.

Selain itu, ada peluang lain bisa dimainkan oleh santri, yaitu media, baik cetak, digital maupun audio-visual. Ini setidaknya yang menjadi perhatian Pak Uki Kurdi sebagai alumni Gontor yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik dan media selama lebih dari 30 puluh tahun.

Dalam hal ini Prof. Amal menyebut, media cetak khususnya, merupakan media yang sangat efektif untuk berdakwah dan menyebarkan gagasan. Untuk memperkuatnya, sebagai ibrah, beliau menunjukkan betapa besarnya pengaruh majalah seperti al-‘Urwah al-Wusqa pimpinan Syekh Jamaluddin al-Afghani, serta Al-Manar yang digawangi Syekh Rasyid Ridha. Keduanya menggemparkan dunia, bahkan menjadi arus baru dalam pemikiran dan pergerakan Islam. Untuk itu, beliau berpesan agar santri mengambil peran dalam media ini.

Yudi Latif menyampaikan orasi kebangsaan

Kyai Anang Rikza juga menegaskan, jika dulu belajar menulis di media hukumnya fardhu kifayah, maka melihat keadaan zaman seperti sekarang ini, harusnya hukumnya menjadi fardhu ‘ain. Ya, santri dan para alumni pondok memang harus tau dunia ini. Untuk itu, beliau menyuntikkan materi Wawasan Media dan Jurnalistik untuk santinya kelas 3 dan 4 di Pondok Tazakka.

Inilah gambaran sederhana tantangan dan peluang dunia literasi santri ke depan, sebagaimana dipaparkan beberapa tokoh di atas. Semoga dengan acara ini, minat para santri, mahasiswa dan alumni Gontor untuk membaca dan menulis semakin besar. Sehingga ke depan, akan lahir karya-karya produktif yang mencerahkan ummat, sebagai bentuk manifestasi ajaran Gontor, sebagai bentuk berteladan kepada ulama kita terdahulu yang berdakwah dengan pena.

Akhirnya, penulis teringat dengan pesan Dr. Syamsuddin Arif. Dengan mengutip Gadamer, beliau menyebut bahwa tulisan adalah entitas yang hidup, ia bersuara dan berbicara. Beliau juga menyebut, tulisan merupakan jejak pikiran yang ditinggalkan penulisnya untuk masa yang tak terhingga. Untuk itu, mari menulis yang baik dengan niat kebaikan dan kemanfaatan untuk sebanyak-banyaknya orang. Wallahu Al’lam.

(Siman, 1 Februari 2019).

 

Simak video dari beberapa pembicara pada Malam Literasi Santri ini:

 

Taufiq Affandi

Taufiq Affandi

3 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *